Siapa Shalahuddin Al-Ayyubi?

Save The World By Saving Aqsa

Shalahuddin Al-Ayyubi (Saladin) adalah seorang tokoh sejarah yang sangat dihormati, terutama dalam konteks pembebasan Yerusalem pada abad ke-12. Sebagai seorang pemimpin Muslim yang terkenal karena kebijaksanaannya, keberaniannya, dan sifat keadilannya, Shalahuddin memainkan peran kunci dalam merebut kembali Yerusalem dari Tentara Salib, yang sebelumnya menguasainya. Cerita ini merupakan bagian dari perjuangannya untuk membebaskan tanah Palestina dari kepungan maut pasukan Salib yang menduduki kota suci tersebut.

Salahuddin Al Ayyubi adalah seorang jenderal dan pejuang Islam yang berasal dari Tikrit, sebelah utara Irak saat ini. Orang-orang Eropa mengenalnya sebagai Saladin, seorang jenderal hebat yang gagah berani memerangi tentara Salib. Selain itu, Salahuddin Al Ayyubi dikenal sebagai pendiri Dinasti Ayyubiyah, yang kekuasaannya meliputi Mesir, Suriah, Mekkah, Madinah, sebagian Yaman, Irak, dan Palestina.

Latar Belakang

Salahuddin Al Ayyubi lahir di benteng Tikrit, Irak, pada 532 H/1138 M ketika ayahnya, Najmuddin Ayyub, menjadi penguasa Seljuk di Tikrit di bawah Imaduddin Zanki, gubernur Seljuk untuk Kota Mosul di Irak. Ketika Imaduddin berhasil merebut wilayah Baalbek di Lebanon pada 534 H/1139 M, Najmuddin Ayyub diangkat menjadi gubernurnya.

Selama di Baalbek inilah, Salahuddin mengisi masa mudanya dengan menekuni teknik, strategi, maupun politik perang. Ia juga mengenyam pendidikan di Damaskus untuk memelajari teologi Sunni selama sepuluh tahun. Pada 1164, ia dikirim oleh penguasa Damaskus ke Mesir untuk membantu Dinasti Fatimiyah melawan serangan tentara Salib.

Menjadi Wazir Mesir

Salahuddin diminta untuk mempertahankan wilayah itu dari serbuan Kerajaan Latin Yerusalem di bawah pimpinan Amalrik I. Meski saat itu dinamika politik di Mesir sangat keras dan ia tidak memiliki kuasa atas tentara yang masih di bawah pimpinan Al-Adid, wazir (setara perdana menteri) yang lemah, Salahuddin dan pamannya, Syirkuh, mampu mempertahankan Mesir. Setelah Al-Adid meninggal, Syirkuh diberi kepercayaan menggantikan posisinya sebagai wazir karena telah berhasil memertahankan Mesir. Namun, hanya dalam waktu dua bulan, Syirkuh meninggal dan jabatan Wazir Mesir akhirnya dipegang oleh Salahuddin pada 1169. Begitu menjabat sebagai Wazir Mesir, Salahuddin mulai merevitalisasi perekonomian dan mengorganisir ulang kekuatan militer.

Mendirikan Dinasti Ayyubiyah

Pada abad ke-11 dan 12, Eropa Barat mengalami gelombang ekspansi yang dikenal sebagai Perang Salib, yang bertujuan untuk merebut Yerusalem, kota yang dianggap suci oleh umat Kristen. Pada tahun 1099, selama Perang Salib Pertama, pasukan Salib berhasil menaklukkan Yerusalem dari kekuasaan Muslim dan mendirikan Kerajaan Yerusalem Latin.

Namun, pada pertengahan abad ke-12, keadaan berubah. Shalahuddin Al-Ayyubi, yang saat itu adalah penguasa di wilayah Mesir, mulai mengorganisir kekuatan untuk merebut kembali Yerusalem. Shalahuddin adalah seorang pemimpin yang berasal dari keluarga Kurdi dan dilatih dalam tradisi militer dan kepemimpinan oleh ayahnya. Ia memulai karirnya sebagai seorang jenderal di bawah pemerintahan dinasti Fatimiyah, namun setelah menaklukkan Mesir, Shalahuddin mendirikan dinasti Ayyubiyah pada tahun 1171.

Sejak awal, Salahuddin Al Ayyubi memiliki ambisi menggantikan Islam Syiah (Dinasti Fatimiyah) di Mesir dengan Sunni dan memerangi orang-orang Franka dalam Perang Salib. Karena posisi Dinasti Fatimiyah semakin lemah, Salahuddin pun mampu menggantikannya dengan Dinasti Ayyubiyah yang didirikannya pada 1171.

Perjuangan Pembebasan Yerusalem

Setelah resmi mendirikan Dinasti Ayyubiyah, Salahuddin kemudian mengembalikan ajaran Sunni ke Mesir. Ambisi Salahuddin untuk menggeser aliran Syiah dengan Islam Sunni pun tercapai. Segera setelah berkuasa, ia juga melakukan ekspansi wilayah dengan menguasai Yaman pada 1174 dan Suriah pada 1180-an. Salahuddin yang berhasil menyatukan berbagai wilayah Islam membuatnya dikenal sebagai khalifah yang memiliki kerajaan terbesar saat itu. Dengan kekuatannya itu, Salahuddin menggunakannya untuk kampanye menaklukkan Yerusalem.

Shalahuddin dikenal memiliki tekad yang sangat kuat untuk membebaskan Yerusalem, yang dianggap sebagai titik penting dalam sejarah Islam. Meskipun Yerusalem sudah berada di bawah kendali pasukan Salib selama hampir 90 tahun, Shalahuddin memulai perjuangannya dengan mengkonsolidasikan kekuatan di dunia Islam, baik dari Mesir, Suriah, hingga Yordania.

Pada tahun 1187, setelah beberapa tahun persiapan, Shalahuddin melancarkan serangan besar-besaran terhadap tentara Salib. Salah satu pertempuran yang paling terkenal dalam proses ini adalah Pertempuran Hattin, yang terjadi pada 4 Juli 1187.

Pertempuran Hattin

Pertempuran Hattin adalah titik balik yang menentukan dalam perjuangan untuk merebut kembali Yerusalem. Shalahuddin memimpin pasukan Muslim dengan strategi yang sangat efektif. Pasukan Salib, yang dipimpin oleh Raja Guy de Lusignan, terperangkap di padang pasir yang panas dan tidak memiliki sumber daya yang cukup. Shalahuddin memotong pasokan air mereka dan mengepung pasukan Salib dengan strategi yang sangat rapih.

Ketika pertempuran berakhir, pasukan Salib menderita kekalahan besar. Raja Guy dan banyak pemimpin Salib lainnya ditangkap. Kemenangan ini memberikan momentum yang sangat besar bagi pasukan Muslim, dan pada akhirnya membuka jalan bagi Shalahuddin untuk merebut Yerusalem.

Pembebasan Yerusalem

Setelah kemenangan di Hattin, Shalahuddin melanjutkan perjalanannya menuju Yerusalem. Pada bulan Oktober 1187, pasukan Muslim berhasil mengepung Yerusalem. Meskipun pasukan Salib berusaha bertahan, Yerusalem yang terisolasi akhirnya jatuh ke tangan Shalahuddin setelah beberapa minggu pengepungan.

Yang luar biasa dalam peristiwa ini adalah sikap Shalahuddin terhadap penduduk Yerusalem. Meskipun pasukan Salib telah menguasai kota tersebut selama hampir 90 tahun dan melakukan kekejaman terhadap umat Muslim, Shalahuddin memutuskan untuk tidak membalas dendam. Ia menawarkan kepada penduduk Yerusalem kesempatan untuk menyerah dengan damai, dan menjamin keamanan bagi umat Kristen yang tinggal di sana.

Shalahuddin bahkan memberi kebebasan bagi umat Kristen yang tinggal di Yerusalem untuk pergi ke tempat aman jika mereka memilih untuk tidak tinggal di kota tersebut. Para prajurit Salib yang ditawan juga diperlakukan dengan baik, dan beberapa dari mereka dibebaskan dengan imbalan tebusan yang sangat rendah.

Peninggalan Shalahuddin

Shalahuddin Al-Ayyubi meninggalkan warisan yang sangat besar dalam sejarah, baik dalam konteks dunia Islam maupun dalam perspektif sejarah peradaban dunia. Selain dikenal sebagai seorang pemimpin yang bijaksana dan adil, ia juga dikenang karena pendekatannya yang lebih manusiawi terhadap lawan-lawannya. Salah satu aspek yang paling dihargai dari kepemimpinannya adalah keinginannya untuk menghindari pembantaian dan menunjukkan toleransi terhadap berbagai agama yang ada di Yerusalem.

Shalahuddin tidak hanya merebut Yerusalem, tetapi juga berusaha untuk mempersatukan dunia Islam yang terpecah belah di bawah banyak kerajaan dan dinasti yang berbeda. Pada masa pemerintahannya, banyak wilayah Muslim yang bersatu, yang memberi kekuatan lebih besar dalam perjuangan melawan pasukan Salib. Setelah kematiannya pada tahun 1193, wilayah Ayyubiyah terbagi, dan pasukan Salib kembali mencoba untuk merebut Yerusalem, tetapi tidak berhasil.

Beberapa tahun setelah serangan tentara Salib di bawah pimpinan Raja Richard dari Inggris, Salahuddin Al Ayyubi meninggal dunia. Kematian Salahuddin Al Ayyubi terjadi pada 1192, setelah melakukan Perjanjian Ramla dengan Raja Richard. Dalam perjanjian itu, Yerusalem tetap dikuasai Muslim dan terbuka bagi peziarah Kristen.

Kisah tentang Shalahuddin Al-Ayyubi dan pembebasan Yerusalem tetap menjadi simbol keberanian, kepemimpinan, dan keadilan, dan ia dihormati oleh banyak orang sebagai pahlawan yang memperjuangkan tanah Palestina dan hak-hak umat Islam.